Kira-kira tiga ratus anak tangga mesti dilalui untuk mencapai Kampung Naga, sebuah kampung di lembah gunung Cikuray, yang masih memegang kuat adat dan tradisi leluhurnya.
Menapaki seratus anak tangga pertama, yang terlihat hanya deretan pohon eboni dan albasia yang menjulang. Seratus anak tangga berikutnya, suguhan nikmat berupa pemandangan petak-petak sawah akan tersedia untuk Anda. Di seratus anak tangga terakhir, barulah tampak deretan rumah bercat putih dengan atap ijuk berwarna hitam, dikelilingi bukit yang penuh dengan pepohonan dan sungai Ciwulan yang mengalir deras. Itulah Kampung Naga.
Kampung Naga—tak ada yang tahu kenapa kampung ini dinamakan demikian—dihuni sekitar 311 jiwa. Walaupun telah bersentuhan dengan dunia modern—hampir sebagian besar masyarakatnya telah mengenyam bangku sekolah—masyarakat Kampung Naga tetap patuh mempertahankan adat yang telah turun temurun diwariskan kepada mereka. Bagi mereka, menjalankan adat berarti menghormati para leluhur (atau biasa disebut karuhan). Sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhan dianggap tabu, yang bila dilanggar akan menimbulkan petaka.
Ajaran karuhan bagaikan hukum tak tertulis yang mesti diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Kampung Naga. Cara membangun rumah, bentuk rumah, letak dan arah rumah, pakaian upacara, kesenian yang dipertunjukkan, tak boleh dilakukan sembarangan.
Pola Perkampungan
Kampung Naga berdiri di lembah subur seluas 1,5 hektar dan dibagi menjadi hutan, sungai, daerah persawahan, dan daerah perkampungan. Setiap area memiliki batas-batas yang tak boleh dilanggar. Area perkampungan, misalnya, tak boleh dibangun di lahan persawahan, dan begitu pula sebaliknya. Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa pada batas antardaerah tersebut ada mahkluk halus. Jika batas dilanggar, mahkluk halus itu akan marah dan menimbulkan petaka.
Daerah perkampungan ini memiliki 111 bangunan, terdiri atas 108 rumah, 1 balai pertemuan (bale patemon), 1 masjid, dan 1 lumbung. Masjid, balai pertemuan dan lumbung diletakkan sejajar, menghadap ke arah timur-barat. Di depannya terdapat halaman luas (semacam alun-alun) yang digunakan untuk upacara adat. Di depan masjid ada kentongan besar, yang dibunyikan ketika ingin mengumpulkan massa, memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), serta memberitahu jika ada bahaya.
Bangunan yang lain, yaitu rumah penduduk, mesti menghadap utara-selatan. Karena daerah ini banyak rayap, rumah dibuat dengan model panggung, yaitu ditinggikan sekitar 50 cm dari tanah. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu atau bilah-bilah kayu, yang dibiarkan mentah begitu saja, atau dicat dengan menggunakan kapur putih. Selain untuk memberi warna, kapur putih berguna untuk melindungi dinding dari serangan rayap. Untuk atap, mereka membuatnya dari ijuk, alang-alang, atau daun nipah.
Lengang Tanpa Listrik
Kehidupan yang sederhana namun bersahaja tampak pada masyarakat Kampung Naga. Karena sebagian besar masyarakat Kampung Naga menggantungkan hidupnya pada hasil kebun dan sawah mereka, waktu mereka pun dihabiskan di sana. Para wanita, yang tidak ikut suaminya ke sawah, mengisi hari mereka dengan memasak dan mengurus keluarga. Di sela-sela pekerjaan rumah tangga itu, para wanita mengerjakan kerajinan anyaman, yang dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke sana.
Suasana lengang akan tampak ketika malam tiba. Tak ada listrik membuat mereka mengandalkan penerangan hanya dari lampu teplok yang digantung di dinding. Tak ada alat-alat elektronik, semuanya dikerjakan secara tradisional. Namun, di beberapa rumah sudah ada perangkat audio (umumnya TV) yang dihidupkan menggunakan aki.
Bermalam di Kampung Naga
Yang perlu diingat, janganlah berkunjung pada hari Selasa, Rabu, atau Sabtu. Sebab, pada hari itu masyarakat Kampung Naga sedang melakukan ritual menyepih, dan dilarang membicarakan adat istiadat dan asal-usul kampungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar