Jumat, 27 Februari 2009

Jaipong polemik continues...

07/02/2009 13:58
Gubernur Jabar Enggan Komentari Jaipong Lagi

Liputan6.com, Depok: Gubernur Ahmad Heryawan enggan mengomentari polemik tarian jaipong yang ramai dibicarakan para semiman Jawa Barat. "Mau tanya apa, soal itu lagi, saya nggak mau komentar," kata dia usai bersilaturahmi dengan pegawai Pemerintah Kota Depok, Sabtu (7/2).

Polemik tentang tarian khas Sunda itu memanjang usai seniman Jabar khususnya ahli jaipong menyatakan akan mengabaikan imbauan Gubernur untuk mengurangi aspek "goyang, geol, gitek" dan pemakaian busana terbuka saat pementasan. "Tak ada pernyataan resmi tentang himbauan terhadap tarian Jaipong," jelasnya.

Gubernur tak akan mencari tahu pihak mana yang pertamakali mengeluarkan imbauan itu. "Kapan saya pernah berkomentar tentang Jaipong," tanyanya. Ahmad Heryawan berjanji akan segera bertemu dengan para seniman Jawa Barat guna membahas hal ini.

Jaipong polemik continues...

Jumat, 06/02/2009 11:20 WIB
Batasi 3G Jaipongan
Kadisparbud Jabar: Tidak Ada Pelarangan Kreativitas
Agus Rakasiwi - detikBandung

Bandung - Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Herdiwan IIng S mengatakan adanya polemik di tengah masyarakat jika jaipong dilarang adalah tidak benar.

"Kami tidak melarang dan tidak pernah melarang," ujar Kadisbudpar, saat jumpa pers di Gedung Sate, Jumat (6/2/2009).

Menurut Herdiwan, gubernur juga tidak akan pernah mengeluarkan perda atau pergub soal pelarangan jaipongan dan seni lain yang dianggap seronok.

Namun, lanjut Herdiwan, Gubernur hanya mengimbau agar para penari jaipong ini tak tersandung masalah untuk ke depannya.

"Ia peringatkan agar tidak jadi masalah ke depannya. Apalagi kalau ada UU pornoaksi," katanya.

Menurutnya, sebagian masyarakat ada yang terganggu dengan penampilan penari jaipong. Misal, pakaian penari yang memperlihatkan ketiak dan goyangan si penari.

"Kalau saja bisa ditutup sedikit bagian aurat seperti ketiaknya, sebagian masyarakat yang risih bisa menerima," tambahnya.

Sebelumnya Herdiwan mengatakan jika gubernur meminta agar para penari memakai baju yang tak memperlihatkan ketiaknya. Gubernur juga mengimbau agar goyang, gitek, dan geol (3G) jaipong dikurangi.

Gubernur Jabar Larang Pentas Tari Jaipong

Bandung - Akhirnya kekhawatiran yang selama ini menggelayuti warga Jawa Barat khususnya seniman terjadi juga. Gubernur Jawa Barat H Ahmad Heryawan secara sah telah melarang seni tari jaipongan dan bajidoran dipentaskan di bumi pertiwi parahyangan.

Kasak-kusuk tentang larangan pentas Jaipongan ini beredar juga dari milis ke milis dan disampaikan pertama kali oleh Kiki Kurnia, wartawan Galamedia Bandung, melalui pesan singkatnya. Kasak-kusuk ini kemudian juga diamini salah seorang staff Disbudpar Jawa Barat, sebut saja Cecep.

“Gubernur Jabar telah melarang tari tradisional yang mengandung unsur 3G yakni, geol, gitek dan goyang, didalamnya adalah jaipongan dan bajidoran, abdi ge teu ngartos naha gubernur teh bet kitu nya…” ujar staff Disbudpar itu.

Informasi soal pelarangan tari Jaipongan ini juga dijelaskan Edi, wartawan Republika Bandung “Dalam beberapa kali ceramah di Kampus Unisba dan UPI bandung, Gubernur selalu bilang bahwa seni itu harus Islami, tidak boleh ada unsur goyangnya, ini kacau!” kecam Edi.

Kecaman senada juga disampaikan Matdon dari Majelis Sastra Bandung, “Persoalan seni budaya ini menjadi persoalan serius, mengingat budaya Jaipongan adalah budaya yang patut dipertahankan. Tradisi budaya warisan nenek moyang yang luhur itu, tidak boleh dikangkangi oleh kepentingan sekelompok manusia. Kita semua pasti beragama, seperti Gubernur yang Islami itu.”

“Susah kalau kacamata agama dikaitkan dengan budaya dalam hal ini jaipongan dan bajidoran.” ujar Matdon.

Selanjutnya Matdon mengimbau kepada seluruh warga Jawa Barat dan etnik Sunda dimana pun berada untuk menolak keputusan Gugbernur Jawa Barat ini. “Keputusan Gubernur Jawa Barat harus dilawan, kalau perlu kita lengserkan.” ancam Matdon.

Kendati kecaman demi kecaman terhadap isu keputusan Gubernur Jawa Barat ini terus berlangsung, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pihakpun yang dapat menjelaskan sejak kapan secara resmi pelarangan pementasan Seni Sunda yang “tidak Islami” ini dilontarkan oleh Gubernur Jabar.


Source : selebzone.com

Jumat, 09 Januari 2009

Material Technology

Masyarakat Sunda secara turun menurun dan tradisi telah mengenai Teknologi Material dimana saat ini di berbagai universitas juga dipelajari mengenai teknik dan tekonologi material ini.

Seperti kita ketahui teknologi material sangat lah penting dipelajari agar bangunan atau produk yang dihasilkan dapat bertahan lama dari segi durabilitasnya dan tentunya reliable baik dalam hal adaptasi dengan alam, suhu udara, kelembaban, dlsb.

Teknologi Material yang dikembangkan oleh Masyarakat Sunda adalah teknologi material yang organik dimana bangunan - bangunan yang dikembangkan oleh Masyarakat Sunda selalu memanfaatkan bahan - bahan/ material yang ada di alam seperti Batu Kali sebagai Pondasi/ Tatapakan, Kayu untuk Tiang, Bambu untuk lantai (talupuh), Dinding (bilik), Plafond (bilik) dan Rangka Atap (kaso dan reng), Atap (jjuk, daun, genteng tanah dan sirap), dlsb.

Teknologi Material tersebut telah terbukti dapat bertahan lebih dari 1000 tahun dari mulai Tarumanagara sampai ke Sumedang Larang. Sampai sekarang pun masih tersisa beberapa peninggalan rumah tradisional yang tersebar di perkampungan Sunda di pedalaman Jawa Barat sekarang.


Source : Nyaangan Alam Dunya

Kamis, 08 Januari 2009

Kuda lumping

Selain beberapa kesenian tradisonal sunda seperti Degung, Longser, benjang, kuda ronggeng atau tayuban lainnya, ada satu kesenian yang tidak kalah tersohor dikalangan masyarakat sunda yaitu “Kuda Lumping”.

Dari pamor yang ada ini menembus ke berbagai kalangan tentunya seperti halnya di ceritakan dalam bait-bait lagu yang tidak melewatkan kesempatan dengan mengambil tema masalah kuda lumping ini sebagai syair atau lirik lagu.

Sebagai contoh, Desa Ciwaru yang terletak di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jabar, masih terkenal dengan adanya kesenian kuda lumping yang memeriahkan berbagai hajatan/khitanan.

Kegemaran terhadap seni ini biasanya berlangsung secara turun-temurun. Tak mengherankan, bila segala kegiatan yang berhubungan dengan kuda lumping maupun kuda renggong berpusat di beberapa tempat yang sudah dikenal sebelumnya. Misalnya saja kuda renggong yang kita kenal itu banyak di daerah Sumedang. Kalau tepatnya saya juga tidak begitu hapal. Begitu pula dengan kuda lumping, masih sering muncul keberadaannya di sekitar Bandung Timur ini, konon katanya kesenian ini berlangsung secara turun-temurun dari leluhur mereka.

Kesenian ini biasanya ada pada warga yang melakukan hajatan (sunatan). Biasanya diramaikan dengan bunyi-bunyian terompet dan gendang. Dan bila bunyi-bunyian tersebut terdengar penduduk sekitar, hal ini menandakan ada suatu keramaian, lantas hampir seluruh penduduk desa di kaki gunung tersebut tumpah ruah di depan rumah milik seorang warga yang akan menggelar acara hajatan tersebut.

Sejak puluhan tahun silam atau mungkin lewat, khitanan di desa ini memang tak pernah lepas dari sebuah tradisi. Yakni, upacara memandikan dan mengarak pengantin sunat atau anak yang akan dikhitan. Tradisi ini diawali dengan pembacaan mantra penolak bala oleh salah seorang tetua desa. Agar prosesi khitanan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari berbagai gangguan dari Batara Kala.

Sudah menjadi tradisi turun-menurun pula seorang bocah lelaki yang akan dikhitan diberi pendamping anak perempuan seusianya, layaknya sepasang calon mempelai. Kedua anak yang juga sering disebut pengantin sunat ini lantas dimandikan dengan air suci yang bersumber dari pegunungan di Parahyangan Timur. Upacara ini dilakukan agar fisik dan batin si anak menjadi bersih, seputih beras yang dijadikan simbol.

Usai dimandikan, pasangan pengantin sunat ini diarak dengan jampana, yaitu kursi tandu yang dipanggul empat orang dewasa. Mereka memutari desa dengan diiringi musik bamplang untuk mengabarkan ke seluruh desa bahwa esok hari si anak akan menjalani salah satu ritual yang dianjurkan agama Islam, yakni khitanan. Dan sepanjang jalan yang dilalui, musik tak henti-hentinya ditabuh.

Antusiasme penonton yang sebagian besar warga pun meningkat. Wajarlah, kesenian kuda lumping yang dipertontonkan sanggar kuda lumping ini pun kerapkali diwarnai berbagai atraksi magis. Unjuk kebolehan itu semuanya dalam pengawasan ahlinya atau disebut juga dengan pawang. Para penduduk biasanya mempercayai pawang tersebut memiliki kemampuan supranatural tinggi. Apalagi pemimpin sanggar kuda lumping itu biasanya cukup lama melatih anak-anak asuhnya untuk bermain kuda lumping dengan berbagai atraksi menakjubkan.

Keramaian kuda lumping mencapai puncak ketika para pemain tampak kesurupan. Dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang tak wajar. Semisal memakan ayam hidup-hidup atau beling (pecahan kaca). Cuma pawanglah yang nantinya dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti hal memulainya. Para pemain kuda lumping dituntun untuk berbaring di atas tikar. Selanjutnya, pawang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain. Setelah membacakan mantra, para pemain kuda lumping itu kembali sadar sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Jumat, 02 Januari 2009

Kian Santang

Oleh ROCHAJAT HARUN

GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan Maulud.

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi. Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.

Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.

Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci).

etelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.

“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki-­laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”

Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.

Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.

Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.

Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.

Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.

Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.

Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.

Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.

Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.

Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.

Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.

Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog



Sumber "klik"

Kesenian Benjang

Benjang adalah jenis kesenian tradisional Tatar Sunda, yang hidup dan berkembang di sekitar Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung hingga kini. Dalam pertunjukannya, selain mempertontonkan ibingan (tarian) yang mirip dengan gerak pencak silat, juga dipertunjukkan gerak-gerak perkelahian yang mirip gulat.

Seperti umumnya kesenian tradisional Sunda yang selalu mempergunakan lagu untuk mengiringi gerakan-gerakan pemainnya, demikian pula dalam seni benjang, lagu memegang peranan yang cukup penting dalam menampilkan seni benjang. Misalnya, pada lagu Rincik Manik dan Ela-Ela, pemain benjang akan melakukan gerakan yang disebut dogong, yaitu permainan saling mendorong antara du apemain benjang dengan mempergunakan halu (antan) dalam sebuah lingkaran atau arena. Yang terseret ke luar garis lingkaran dalam dogong itu dinyatakan kalah.

Dari gerakan dogong tadi kemudian berkembanglah gerakan seredan, yaitu saling desak dan dorong seperti permainan sumo Jepang tanpa alat apa pun. Begitu pula aturannya, yang terdorong ke luar lingkaran dinyatakan kalah. Gerak seredan berkembang menjadi gerak adu mundur. Dalam gerakan ini yang dipergunakan adalah pundak masing-masing, jadi tidak mempergunakan tangan atau alat apa pun. Selain itu, ada pula yang disebut babagongan, yaitu gerakan atau ibingan para pemain yang mempertunjukkan gerakan mirip bagong (celeng atau **** hutan), dan dodombaan yaitu gerakan atau ibing mirip domba yang sedang berkelahi adu tanduk.





Peraturan untuk babagongan, dogong, seredan maupun adu mundur dan dodombaan adalah melarang pemain menggunakan tangan. Namun, karena seringnya terjadi pelanggaran, terutama oleh pemain yang terdesak, tangan pun tak terhindarkan sering turut sibuk, meraih dan mendorong. Oleh karena itu, dalam peraturan selanjutnya tangan boleh dipergunakan dan terciptalah permainan baru yang disebut genjang.

Benjang sebagai perkembangan dari permainan adu munding (kerbau), lebih mengarah pada permainan gulat. Di dalamnya terdapat gerakan piting (menghimpit) yang dilengkapi dengan gerak-gerak pencak silat. Apabila diperhatikan, bentuk dan gerakan seni genjang ini termasuk seni gulat tradisional.

Tidak ada peraturan khusus mengenai lawan atau pemain, baik berat badan, maupun tinggi rendahnya pemain serta syarat-syarat lainnya. Sebagai pertimbangan hanyalah keberanian dan kesanggupan menghadapi lawan. Peraturan satu-satunya adalah apabila lawan tidak dapat membela diri dari himpitan lawannya dalam keadaan terlentang. Dalam keadaan demikian, maka pemain tersebut dinyatakan kalah. Selanjutnya permainan terus berjalan dengan silih berganti pasangan. Akhirnya, istilah genjang berubah menjadi benjang.

Waditra yang dipergunakan adalah: terebang, kendang, bedug, tarompet dan kecrek. Lagu-lagu yang dibawakan di antaranya: Kembang Beureum, Sorong Dayung, dan Renggong Gancang. Pertunjukan diselenggarakan di tempat terbuka, seperti halaman rumah, dan lapangan. Pertunjukan dimulai pada malam hari pukul 20.00.

Dalam perkembangannya, pertunjukan benjang dilengkapi dengan kesenian lain seperti badudan, kuda lumping, bangbarongan, dan topeng benjang. Seni benjang kemudian melebar hingga ke Desa Cisaranten Wetan, Desa Cisaranten Kulon, Kecamatan Buahbatu, Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Cicadas, Kota Bandung.

Tokoh-tokoh pendiri dan pembaharu perkembangan seni benjang adalah Mama H. Hayat (alm) dan Abah Asrip (alm), keduanya dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung, kemudian Abah Alwasih (alm) dari Desa Ciporeat, Kampung Ciwaru, Kecamatan Ujungberung, lalu Mama H. Enjon (alm), seorang tokoh pencak silat yang melengkapi benjang dengan unsur-unsur pencak silat, dan terakhir Nunung Aspali, seorang tokoh yang masih hidup dan memimpin perkumpulan seni benjang “Putra Pajajaran” di Kecamatan Ujungberung.

da suatu keistimewaan dalam permainan banjang, disamping mempunyai teknik-teknik kuncian yang mematikan, benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik atau pada keadaan tertentu bisa juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri, misalnya dalam teknik mulung yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah, maka ketika posisinya di atas, lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah posisinya dengan cara ngabeulit kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan mengikuti arah yang akan dijatuhkan, sehingga yang mengangkat posisinya terbalik menjadi di bawah setelah itu langsung yang diangkat tadi mengunci lawannya sampai tidak berkutik.

Menurut pendapat salah seorang sesepuh benjang yang tinggal di Desa Cibolerang Cinunuk Bandung, bahwa nama benjang sudah di kenal oleh masyarakat sejak tahun 1820, tokoh benjang yang terkenal saat itu, antara lain H. Hayat dan Wiranta. Kemudian ia menjelaskan mengenai asal-usul benjang adalah dari desa Ciwaru Ujungberung, ada juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua daerah ini sampai sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh benjang, mereka berusaha mempertahankan agar benjang tetap ada dan lestari, tokoh benjang saat ini yang masih ada, antara lain Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi, Emun, dan masih ada lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat.

Seperti kita ketahui bahwa negara kita yang tercinta ini kaya dengan seni budaya daerah. Ini terbukti masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas), seperti benjang adalah salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lainpun ada seni budaya tradisional semacam benjang, seperti di daerah Aceh disebut Gedou – gedou, di daerah Tapanuli (Sumut) disebut Marsurangut, di daerah Rembang disebut Atol, di daerah Jawa Timur disebut Patol, di daerah Banjarmasin disebut Bahempas, di daerah Bugis/Sulsel disebut Sirroto, dan di daerah Jawa Barat disebut Benjang.


(Sumber : Padepokan Benjang Makalangan, Sekretariat : Cibolerang,
Cinunuk,Kabupaten Bandung – Jawa Barat)



Vyan Sultan
 
Serenity Blogger Template