Jumat, 02 Januari 2009

Kesenian Benjang

Benjang adalah jenis kesenian tradisional Tatar Sunda, yang hidup dan berkembang di sekitar Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung hingga kini. Dalam pertunjukannya, selain mempertontonkan ibingan (tarian) yang mirip dengan gerak pencak silat, juga dipertunjukkan gerak-gerak perkelahian yang mirip gulat.

Seperti umumnya kesenian tradisional Sunda yang selalu mempergunakan lagu untuk mengiringi gerakan-gerakan pemainnya, demikian pula dalam seni benjang, lagu memegang peranan yang cukup penting dalam menampilkan seni benjang. Misalnya, pada lagu Rincik Manik dan Ela-Ela, pemain benjang akan melakukan gerakan yang disebut dogong, yaitu permainan saling mendorong antara du apemain benjang dengan mempergunakan halu (antan) dalam sebuah lingkaran atau arena. Yang terseret ke luar garis lingkaran dalam dogong itu dinyatakan kalah.

Dari gerakan dogong tadi kemudian berkembanglah gerakan seredan, yaitu saling desak dan dorong seperti permainan sumo Jepang tanpa alat apa pun. Begitu pula aturannya, yang terdorong ke luar lingkaran dinyatakan kalah. Gerak seredan berkembang menjadi gerak adu mundur. Dalam gerakan ini yang dipergunakan adalah pundak masing-masing, jadi tidak mempergunakan tangan atau alat apa pun. Selain itu, ada pula yang disebut babagongan, yaitu gerakan atau ibingan para pemain yang mempertunjukkan gerakan mirip bagong (celeng atau **** hutan), dan dodombaan yaitu gerakan atau ibing mirip domba yang sedang berkelahi adu tanduk.





Peraturan untuk babagongan, dogong, seredan maupun adu mundur dan dodombaan adalah melarang pemain menggunakan tangan. Namun, karena seringnya terjadi pelanggaran, terutama oleh pemain yang terdesak, tangan pun tak terhindarkan sering turut sibuk, meraih dan mendorong. Oleh karena itu, dalam peraturan selanjutnya tangan boleh dipergunakan dan terciptalah permainan baru yang disebut genjang.

Benjang sebagai perkembangan dari permainan adu munding (kerbau), lebih mengarah pada permainan gulat. Di dalamnya terdapat gerakan piting (menghimpit) yang dilengkapi dengan gerak-gerak pencak silat. Apabila diperhatikan, bentuk dan gerakan seni genjang ini termasuk seni gulat tradisional.

Tidak ada peraturan khusus mengenai lawan atau pemain, baik berat badan, maupun tinggi rendahnya pemain serta syarat-syarat lainnya. Sebagai pertimbangan hanyalah keberanian dan kesanggupan menghadapi lawan. Peraturan satu-satunya adalah apabila lawan tidak dapat membela diri dari himpitan lawannya dalam keadaan terlentang. Dalam keadaan demikian, maka pemain tersebut dinyatakan kalah. Selanjutnya permainan terus berjalan dengan silih berganti pasangan. Akhirnya, istilah genjang berubah menjadi benjang.

Waditra yang dipergunakan adalah: terebang, kendang, bedug, tarompet dan kecrek. Lagu-lagu yang dibawakan di antaranya: Kembang Beureum, Sorong Dayung, dan Renggong Gancang. Pertunjukan diselenggarakan di tempat terbuka, seperti halaman rumah, dan lapangan. Pertunjukan dimulai pada malam hari pukul 20.00.

Dalam perkembangannya, pertunjukan benjang dilengkapi dengan kesenian lain seperti badudan, kuda lumping, bangbarongan, dan topeng benjang. Seni benjang kemudian melebar hingga ke Desa Cisaranten Wetan, Desa Cisaranten Kulon, Kecamatan Buahbatu, Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Cicadas, Kota Bandung.

Tokoh-tokoh pendiri dan pembaharu perkembangan seni benjang adalah Mama H. Hayat (alm) dan Abah Asrip (alm), keduanya dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung, kemudian Abah Alwasih (alm) dari Desa Ciporeat, Kampung Ciwaru, Kecamatan Ujungberung, lalu Mama H. Enjon (alm), seorang tokoh pencak silat yang melengkapi benjang dengan unsur-unsur pencak silat, dan terakhir Nunung Aspali, seorang tokoh yang masih hidup dan memimpin perkumpulan seni benjang “Putra Pajajaran” di Kecamatan Ujungberung.

da suatu keistimewaan dalam permainan banjang, disamping mempunyai teknik-teknik kuncian yang mematikan, benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik atau pada keadaan tertentu bisa juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri, misalnya dalam teknik mulung yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah, maka ketika posisinya di atas, lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah posisinya dengan cara ngabeulit kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan mengikuti arah yang akan dijatuhkan, sehingga yang mengangkat posisinya terbalik menjadi di bawah setelah itu langsung yang diangkat tadi mengunci lawannya sampai tidak berkutik.

Menurut pendapat salah seorang sesepuh benjang yang tinggal di Desa Cibolerang Cinunuk Bandung, bahwa nama benjang sudah di kenal oleh masyarakat sejak tahun 1820, tokoh benjang yang terkenal saat itu, antara lain H. Hayat dan Wiranta. Kemudian ia menjelaskan mengenai asal-usul benjang adalah dari desa Ciwaru Ujungberung, ada juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua daerah ini sampai sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh benjang, mereka berusaha mempertahankan agar benjang tetap ada dan lestari, tokoh benjang saat ini yang masih ada, antara lain Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi, Emun, dan masih ada lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat.

Seperti kita ketahui bahwa negara kita yang tercinta ini kaya dengan seni budaya daerah. Ini terbukti masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas), seperti benjang adalah salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lainpun ada seni budaya tradisional semacam benjang, seperti di daerah Aceh disebut Gedou – gedou, di daerah Tapanuli (Sumut) disebut Marsurangut, di daerah Rembang disebut Atol, di daerah Jawa Timur disebut Patol, di daerah Banjarmasin disebut Bahempas, di daerah Bugis/Sulsel disebut Sirroto, dan di daerah Jawa Barat disebut Benjang.


(Sumber : Padepokan Benjang Makalangan, Sekretariat : Cibolerang,
Cinunuk,Kabupaten Bandung – Jawa Barat)



Vyan Sultan

2 komentar:

gustiherbal mengatakan...

mohon ijin, mau ikut copy

gustiherbal mengatakan...

mohon ijin, ikut copy artikelnya

 
Serenity Blogger Template